Menelusuri sejarah Medang Kahuripan

OMENU

PUTRA WILIS

Berbagi Informasi Tanpa Menyakiti

c





c

Menu



Putra Wilis Cerita Rakyat MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.

MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.



Cerita Rakyat



Oleh : Drs. Harmadi



Pengantar

Meskipun masyarakat Nganjuk dan sekitarnya yakin benar bahwa Sejarah

berdirinya Kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur tidak dapat

dilepaskan dari awal kemenangan Mpu Sindok melawan bala tentara Melayu

(Sriwijaya) di wilayah Nganjuk sekarang pada awal abad ke X, namun

nama Kerajaan yang dirintis oleh pendiri dinasti Isana itu sendiri

masih terdapat kesimpang siuran penyebutan, ada sementara yang

mengatakan Medang, ada sebagian yang mengatakan Medang ? Kamolan, ada

yang Medang ? Kehuripan, dan bahkan ada yang hanya menyebut Kehuripan

saja.

Terlebih lagi dengan sangat minimnya bekas peninggalan dan tidak

konsistennya pernyataan yang termuat dalam tiap prasasti peninggalan,

lebih menyulitkan bagi peneliti sejarah untuk mengadakan kajian

mendalam tentang situs yang diasumsikan sebagai lokasi yang bisa

diyakini sebagai ibukota atau pusat pemerintahan kala itu.

Tulisan ini hanya sebagai sumbangsih penulis melengkapi

tulisan-tulisan terdahulu, sebagai warga Nganjuk yang merasa ikut

peduli terhadap sejarah tanah kelahiran.

Wassalam.



I.MASA MPU SINDOK

A.BABAT ANJUK LADANG

Sebagaimana telah saya tulis pada edisi-edisi terdahulu, bahwa

romantika sejarah perjuangan mPu Sindok dalam mempertahankan

pemerintahan dan kedaulatan Mataran Hindu di Jawa Timur dari

rongrongan Sriwijaya, menguras banyak tenaga dan pikiran serta waktu

yang cukup lama. Strategi demi strategi, kekuatan demi kekuatan telah

dikerahkan semaksimal mungkin, namun kekalahan masih selalu berada

dipihaknya, dan tentara Sriwijaya masih selalu diatas angin

Hal demikian jelas membuat kecil hati dan paniknya mPu Sindok

menghadapi lawan yang memang tangguh dalam segala hal, yang memang

jauh lebih unggul dalam mengatur strategi, persenjataan, pengalaman

perang, maupun kuatnya dukungan logistik yang sangat memadai dan

dipersiapkan untuk sebuah perang besar yang berkepanjangan (perang

gejag).

Dalam situasi terdesak dan terjepit seperti itu, telah menimbulkan

pemikiran untuk mobilisasi umum, yaitu mengerahkan penduduk setempat,

untuk bersama-sama berjuang melawan musuh kerajaan Mataram yang juga

musuh para kawulo bersama. Pemberian motivasi bahwa kalau kerajaan

sampai terjajah musuh, maka nasib para kawulo juga akan menderita

diperbudak oleh penjajah, rupanya sangat mengena dihati rakyat.

Dengan motivasi seperti itu, timbul kesadaran masyarakat setempat

untuk mau berjuang bahu membahu bersama prajurit mPu Sindok melawan

musuh bersama, walaupun mereka tidak pernah mengenal ilmu perang dan

pengalaman berperang, dengan hanya bermodal persenjataan apa adanya,

semuanya cancut tali wondo, holopis kontul baris, saiyek saeko proyo,

dengan modal nekat, semuanya maju bersama melawan mush, menumpas habis

bala tentara Sriwijaya di ladang pembantaian (killing field) di

kalangan peperangan.

Perjuangan besar itu membuahkan hasil gemilang, yaitu kemenangan

gilang gemilang. Kemenangan yang diperoleh berkat sebuah strategi

mobilisasi umum, telah mengangkat mPu Sindok naik ke derajat yang

lebih tinggi dari kedudukan semula Rakai Hino, menjadi pemegang

Singgasana Kerajaan baru yaitu Medang pada tahun 929 Masehi,

mengakhiri dominasi wangsa Sanjaya Kerajaan Mataram Hindu yang

berpusat di Jawa Tengah, dan mendirikan dinasti baru Isana dengan

pusat pemerintahan di Jawa Timur, dengan abiseka nama (gelar

kemaharajaan) Sri Isanawikramadharmatunggadewa.

Sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan penduduk memenangkan

peperangan melawan tentara Melayu, dilokasi peperangan itu pada tahun

937 Masehi, didirikan sebuah tugu peringatan (prasasti) Jaya Stamba,

dimaksudkan sebagai catatan yang tak akan terlupakan sepanjang

sejarah, bahwa karena bantuan penduduk setempat, maka kedaulatan

Mataram Hindu tetap jaya, tidak jadi terlepas ketangan musuh, dan

karena kemenangan itu pula telah mengantarkan mPu Sindok menjadi

seorang Maharaja di Medang.

Bersamaan dengan peresmian Jaya Stamba, dilokasi yang sama dilakukan

juga peresmian Jaya Mrta dengan ujud sebuah Candi dari bahan batu bata

merah, yang kemudian oleh masyarakat dinamakan dengan Candi Lor sampai

sekarang.

Barangkali didirikan dan diresmikannya Candi Jaya Mrta, dimaksudkan

bahwa kekuasaan telah hidup kembali, terlepas dari ancaman yang nyaris

menamatkan riwayat, dan diharapkan ditempat yang baru, Kerajaan Medang

akan hidup abadi, bahkan akan berkembang mencapai puncak kejayaannya

(air amrta adalah air yang dapat mengekalkan kehidupan dalam kisan

Samudramanthana).

Rangkaian kisah heroik yang diawali dari perlawanan terhadap

kedatangan bala tentara Sriwijaya devisi Jambi di Pelabuhan Bandar

Alim Tanjunganom, kemudian jebolnya pertahanan Marganung dan

terjebaknya tentara Melayu oleh kepiawaian olah strategi yang

dimainkan oleh mPu Sindok di ladang pembantaian, serta ide persatuan

Nusantara yang tercetus di Bumi Anjuk Ladang, kiranya dapat dianggap

bahwa babad Anjuk Ladang, merupakan awal dari berdirinya

kerajaan-kerajaan besar yang berpusat di Jawa Timur seperti Kerajaan

Medang sendiri, Kerajaan Kediri, Singosari maupun Mojopahit.



B.UPACARA PENETAPAN SIMA

Selain peresmian Jaya stamba dan Jaya Mrta, juga ditetapkan Anjuk

Ladang sebagai Sima Swatantra.

Arti harafiah ?Sima? menurut Supratikno Raharjo (2002) adalah ?batas?,

yaitu tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang

memiliki status ?istimewa? yang diberikan oleh penguasa kepada wateg

(desa) tertentu, dalam hal ini adalah pemberian status istimewa dari

Maharaja mPu Sindok kepada Desa Anjuk Ladang berupa status Sima

Swatantra.

Sebelum dilakukan upacara penetapan Sima, selalu didahului dengan

pembukaan lahan sawah baru, dari yang semula lahan tegal, pekarangan

maupun hutan.

Adapun upacara pemberian status istimewa ini didahului dengan suatu

rangkaian susunan acara yang menurut Haryono (1980) adalah sebagai

berikut :

1.Pemberian pasek-pasek atau hadiah kepada para pejabat.

2.Meletakkan saji-sajian untuk upacara

3.Makan dan minum bersama

4.Melakukan aktifitas ritual yang disebut makawitha dan makamwang

5.Duduk bersama di witana (bangsal yang dibangun khusus untuk

keperluan itu), mengelilingi watu sima dan watu kelumpang, dengan

posisi sebagai berikut :

-Sebelah Utara : Para pejabat wakil pemerintah pusat

-Sebelah Timur : Para ibu, sangsang, dan wakil dari tetangga sekitar

-Sebelah Selatan : Sang watuha patih (barangkali pejabat setingkat

Camat sekarang) dan para kepala desa tetangga

-Sebelah Barat : Sang Makudur (pemimpin upacara) dan para pejabat

keagamaan desa

-Posisi Tengah : Tempat watu kelumpang/watu Sima (batu pusaka)

6.Memotong leher ayam dengan landasan Watu Kelumpang dan membanting

telor serta menaburkan abu yang dilakukan oleh Sang Makudur didampingi

Pamget Wadihati.

7.Membakar dupa sambil mengucapkan kutukan terhadap yang melanggar

ketentuan Sima dikemudian hari.

8.Menyembah kepada Sang Hyang Sima Watu Ketumpang

9.Membungkus sisa makanan dengan daun untuk dibawa pulang (dibrekat Jw)

10.Pertunjukan kesenian.

Bunyi kutukan adalah sebagai berikut : ?Jika pergi ke hutan akan

dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir

meskipun pada musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan tenggelam

disambar buaya?.

Sedangkan arti simbolis dari urutan acara ke 6, diharapkan bahwa si

pelanggar akan menemui petaka seperti ayam yang telah dipisahkan

antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telor yang telah

dipecahkan, dan seperti nasib kayu yang menjadi abu karena terbakar,

atau bahkan si pelanggar akan mendapatkan lima kemalangan besar

(pancamaha pataka) selama jangka waktu yang tidak terbatas (Haryono,

1980).

Kepala Sima sebagai wakil resmi Raja di Sima Swatantra Anjuk Ladang,

mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut :

1.Mengatur jalannya pemerintahan di wilayah Sima Anjuk Ladang,

terutama yang berkaitan dengan masalah pajak.

2.Kepala Sima bertanggung jawab atas keberhasilan penarikan segala

macam jenis pajak, yaitu pajak bumi, perdagangan dan jenis-jenis usaha

diwilayahnya, serta membagikan kepada pihak-pihak yang berhak

menerima, seperti untuk bangunan-bangunan suci yang ada diwilayahnya.

3.Memelihara, menjaga kebersihan dan kesucian bangunan suci, serta

mengadakan perbaikan dimana perlu.

4.Menyelenggarakan upacara ritual, pemujaan dan persembahan kepada

bathara, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan.

5.Menetapkan besar kecilnya denda apabila terjadi pelanggaran

diwilayahnya (sukhadhuka dan kalahayu).

6.Menjaga keamanan dan ketertiban didaerahnya.

7.Berhak untuk mengerahkan dan mengatur tenaga kerja bhakti untuk

perbaikan saranan dan prasaranan umum.



C.SISTEM PEMERINTAHAN

Selain sebagai seorang panglima perang yang ahli dalam mengatur siasat

perang, mPu Sindok juga menunjukkan bakatnya sebagai negarawan handal

yang kreatif dan banyak akal, dan senantiasa berfikir demi

kesempurnaan sistim Pemerintahan Kerajaan Medang yang dipimpinnya.

Meskipun dia sendiri bukan putra mahkota atau bahkan bukan keturunan

Raja, namun pengalaman selama pengabdiannya di Kerajaan Mataram

(Hindu), merupakan pengalaman berharga untuk melakukan

pembenahan-pembenahan.

Dalam sebuah prasasti yang diketemukan didaerah Tengaran (Jombang),

disebutkan bahwa mPu Sindok memerintah bersama istrinya, Rakryan Sri

Parameswari Sri Wardhani Pu Kbi (Drs.Santoso, 1971), dan dalam

prasasti Bakalan (934 M) menyebutkan berisi perintah Rakryan Mangibil

(isteri mPu Sindok lainnya) untuk membangun 3 buah Dawuhan di

Kalihunan, Wwatan Wulus dan Wwatan Tamya.

Sedangkan dalam prasasti lainnya yang ditulis pada jaman yang sama,

tanpa menyebut nama istri atau isteri-isterinya. Dengan demikian

kiranya dapat diasumsikan bahwa :

1.mPu Sindok memerintah Medang bersama-sama/didampingi oleh

isteri/isteri-isterinya

2.Isteri/isteri-isterinya adalah keturunan Raja, sehingga sebetulnya

berhak menjadi Raja, namun karena anggapan bahwa derajad laki-laki

lebih tinggi daripada perempuan, kedudukan Raja diberikan kepada suami

3.Isterinya menduduki jabatan tertentu di pemeirntahan seperti Raja

daerah, yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan prasasti sendiri

dengan sepengetahuan Raja.

Penyempurnaan struktur tata pemerintahan dari model Jawa Tengah ke

Jawa Timur, sebagaimana dapat diamati dari beberapa prasasti berangka

tahun yang dikeluarkannya, seperti :

1.Prasasti Turyyan (929 M) yang menurut penelitian de Cas paris, 1988

menyebutkan tentang pengelompokan para pejabat berdasarkan strata

tingkatan jabatan dan kepangkatan, serta siapa-siapa yang disebut

Rakai, Rakryan, Samget, mPu, Sang, Dyah, Si dan lain-lain.

Menurut de Casparis, bahwa jabatan Wakai Kanuruhan menduduki jabatan

paling penting sesudah mahamantri (mahamantri Rakai Wka)

Para Rakai mempunyai pegawai sendiri-sendiri yang disebut

parujar-ujar. Begitu pula Rakryan dan Samget juga mempunya

parujar-ujar sendiri.

2.Mulai dikenal sebutan rakryan mapinghe kalih atau mahapatih yang 2

(dua) orang yaitu Rakai 1 Hino dan Rakai Wka. Barangkali dengan

pembagian tugas yang kemudian dikenal dengan sebutan patih njero dan

patih njobo.

3.Mulai ada jabatan kepala Protokol Kerajaan, yaitu Rakai Kanuruhan

dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang lebih luas baik didalam

karaton maupun di luar, seperti kewenangan menetapkan dan memungut

pajak pada para pedagang asing (po hawang /nahkoda kapal asing)

4.Ada kelompok jabatan tanda rakryan ring pakira-kiran, yaitu kelompok

jabatan khusus yang menerima langsung pemerintah Raja tanpa melalui

perantara, kurang lebih semacam Aspri sekarang.



D.AGAMA, SASTRA DAN ILMU PENGETAHUAN

Sri Isanawikramadharmattunggadewa (mPu Sindok) pada saat memerintah

Kerajaan Medang, sangat memperhatikan perkembangan agama, Ilmu

Pengetahuan dan Sastra Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau

ketiganya mengalami perkembangan yang signifikan.

Ketiga ilmu tersebut saling kait-mengkait dan berhubungan satu sama

lain. Beberapa padepokan dan mandala-mandala didirikan untuk mendidik

para cantrik dan sisya (siswa) untuk memperdalam berbagai ilmu.

Beberapa siswa dikirim ke Nelanda (India Utara) menyerap ilmu bagi

kepentingan Medang. Karya sastra yang diterbitkan dan cukup populer

sampai saat ini adalah :

1.Kitab Sang Hyang Kamahayanikam

Sebuah kitab aliran Budha Mahayana berbahasa Sanskerta, berisi

tuntunan dharma dan tata cara bersemedi menurut aliran Mahayana, dan

ajaran tentang praktek Yoga yang diharuskan melalui bimbingan Guru.

Selain itu juga berisi tentang bentuk penyucian jiwa raga dan harta

dalam bentuk dana paramitha, yakni kesempurnaan pemberian derma, misal

jenis makanan yang enak-enak, minuman yang manis-manis dan harum,

diberikan kepada orang yang membutuhkan. Emas, pakaian, uang dan tanah

di dermakan untuk fasilitas umum dll.

Melihat bahasa yang dipergunakan dalam kitab tersebut Sanskerta, jelas

menunjukkan bahwa Medang betul-betul telah berhubungan dengan Benggala

India Utara asal bahasa tersebut, yang saat itu sedang diperintah oleh

dinasti Cola yang sangat terkenal dengan perguruan tingginya di

Nelanda. Dengan demikian asumsi yang dapat dikemukakan adalah :

a.Kitab tersebut dikarang oleh pujangga pendatang dari Benggala, atau

b.Ditulis oleh bangsa sendiri lulusan Nelanda dan ingin menunjukkan

kemampuannya berbahasa Sanskerta.

Perlu kami tambahkan bahwa untuk pergi belajar ke luar negeri, calon

siswa harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Rakai Kanuruhan,

yang berarti para siswa adalah tugas belajar dari negara (Kerajaan).

2.Kitab Brahmandapuruna

Yaitu kitab suci agama Hindu Saiwa, berbahasa Jawa Kuno, terdiri dari

beberapa parwa, berisi tentang Kosmologi, kosmogoni, astronomi dan

cerita-cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup

dikalangan rakyat mengenai kehidupan par adewa, penciptaan dunia dan

lain-lain, yang pada intinya memuat 5 hal (pancalaksana), yaitu :

a.Sarga, tentang penciptaan alam semesta

b.Pratisarga, tentang penciptaan kembali dunia setiap kali dunia

lenyap (kiamat).

Menurut kitab ini bahwa berlangsungnya dunia sekarang hanyalah selama

satu hari Brahma.

c.Wamsa, menguraikan tentang asal usul para Dewa dan Rsi (pendeta tertinggi)

d.Manwantarani, berisi tentang pembagian waktu, yaitu satu hari Brahma

terbagi dalam 14 masa. Dalam setiap masa manusia itu dicipta kembali

sebagai keturunan Manu, manusia pertama (Adam)

e.Wamsanucarita, berisi tentang sejarah Raja-raja yang memerintah diatas dunia.

Kosmologi sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang

alam semesta sebagai sistem yang beraturan, dan kosmogoni yang

mempelajari tentang asal mula terjadinya benda-benda langit dan alam

semesta, serta astronomi yang mempelajari tentang matahari, bulan,

bintang dan planet-planet lainnya, sangat penting dipelajari untuk

pengembangan ilmu pengetahuan, agama dan pertanian.

Tidak hanya bagi wariga (ahli perhitungan musim untuk pertanian)

perhitungan waktu merupakan hal yang sangat penting, tapi Kerajaan

maupun masyarakat luas sangat membutuhkan juga perhitungan-perhitungan

tersebut dalam setiap kali akan melakukan aktifitasnya, termasuk

memulainya peperangan, pindah rumah, perhelatan, kegiatan pertanian,

kelautan dan lain-lain.

Untuk hitungan hari dalam satu pekan (Minggu) terdapat hitungan yang

lima hari (Poncowolo), enam hari (Sadworo) dan tujuh hari dalam satu

pekan/minggu yang disebut dengan saptoworo.

Hitungan lima hari dalam satu pekan (poncowolo) sampai sekarang masih

dikenal oleh masyarakat, walaupun sedikit telah mengalami pergeseran

penulisan dan pengucapan.

-Pahing, biasa disingkat dengan Pa saja

-Pwan, sekarang Pon, disingkat Po

-Wagai, sekarang Wage, disingkat Wa

-Kaliwuan, sekarang Kliwon, disingkat Ka

-Umanis, sekarang Legi, disngkat U/Ma

Hitungan Sadworo atau enam hari dalam satu pekan, sekarang sudak tidak

dikenal, namun demikian selengkapnya adalah :

-Tunglai, disingkat Tu/Tung

-Haryang, disingkat Ha

-Warukung, disingkat Wu

-Paniruan, disingkat Pa

-Was, disingkat Wa

-Mawulu, disingkat Ma

Disamping Poncowolo dan Sadworo, ada hitungan hari yang tujuh, yaitu Saptoworo

-Aditya (A/Ra)

-Soma (So)

-Anggoro (Ang)

-Budho (Bu)

-Wrhaspati (Wr)

-Cukrau (Cu)

-Sainascara (sa)

Nama-nama bulan dikenal dengan istilah antara lain :

-Magha (Januari ? Pebruari)

-Phalguno (Pebruari ? Maret)

-Caitra (Maret ? April)

-Bodro (Agustus ? September)

-Asuji (September ? Oktober)

-Karttiko (Oktober ? Nopember)

Upacara dan persembahan sesaji yang dilakukan secara teratur dan tetap

menurut kebutuhan maupun kesepakatan pranata Agama menurut kalender,

misal :

-Pratidina, yaitu upacara sesaji yang dilakukan setiap hari, untuk

bangunan-bangunan keagamaan tertentu

-Pratimasa, yaitu upacara/sesaji yang dilakukan setiap bulan sekali

-Angken bisuwakala, yaitu upacara keagamaan yang dilakukan dua kali

dalam setiap tahun. Biasanya diselenggarakan pada bulan Caitra dan

Asuji

-Asuji, Badra, Karttika, yaitu upacara yang dilaksanakan setahun

sekali pada bulan Asuji, Badra dan Karttika.

Sebagai persyaratan pokok sesaji, salahs atu perlengkapannnya adalah

potongan-potongan kecil kayu Cendana yang untuk wilayah Anjuk Ladang

tidak terlalu sulit mencarinya, karena sejak dahulu kala telah

tertanam dan merupakan perkebunan yaitu di Desa Ngetos, Kecamatan

Ngetos, yang sampai sekarang masih disakralkan.

Selain bahan sesaji, potongan-potongan kecil (tatal) kayu Cendana

biasa dikunyah oleh para wiku dan Rsi di Padepokan, serta merupakan

kebiasaan sebagai aroma penyegar mulut.



E.UKURAN TAKARAN DAN TIMBANGAN

Pada masa mPu Sindok memerintah Kerajaan Medang tahun 929 ? 947

Masehi, telah dikenal satuan ukuran, takaran dan timbangan yang

dipergunakan untuk berbagai keperluan jual beli dan keperluan lainnya,

misal :

-Ukuran luas : tampah, suku

-Ukuran panjang : dpa

-Takaran : Catu

-Ukuran berat : masa, pikul, bantal, kati, tahil

-Ukuran emas : Suwarna (Su)

-Ukuran perak : dharono

-Manusia atau binatang besar : prono

-Ukuran kain : wdihan, wdihan yu, ken

-Yang bisa dipegang tangan, misal padi : Agem dll

Contoh penggunaan ukuran tersebut sebagaimana terpahat antara lain

pada prasasti Hering atau Prasasti Kujon Manis Tanjunganom (934 M)

yang inti isinya sebagai berikut :

?Pada tahun 859 Saka atau 934 Masehi, pada bulan Phalguno (Pebruari ?

Maret) telah terjadi transaksi pembelian tanah yang sangat luas oleh

pejabat Desa (Samget) Marganung Pu Danghil dari beberapa orang

penduduk desa (+ 26 orang), seluas 6 tampah 1 suku, seharga 5 kati 9

suwarna atau sekitar 3.773,36 gram emas.

Prasasti tersebut juga mencatat besarnya pasek-pasek atau pemberian

hadiah yang harus diberikan kepada para pejabat yang berkompeten mulai

tingkat kerajaan sampai pejabat tingkat bawah, berupa wdihan yu,

dengan ketentuan sebagai berikut :

-Raja mendapatkan 5 wdihan yu

-2 orang mahapatih (I hino pu sahasra dan rakai wka Pu Baliswara)

masing-masing 6 wdihan yu

-Rakai Sirikan pu Balyang 6 yu

-Rakai kanuruhan Pu Pikatan dan pu Sata masing-masing 1 wdihan yu

-Pu Rita 5 wdihan yu

-Dan seterusnya

Keterangan :

-Wdihan adalah sebutan untuk kain yang biasanya dikenakan oleh kaum

pria yang sekarang dikenal dengan bebet

-Wdihan yu,a dalah seperangkat pakaian laki-laki termasuk iket (udeng Jw)

-Satu tampah + 20.250 M2

-Satu suku + 0,25 tampah

-Suwarna (Su) = ukuran satuan emas

-Dharana = ukuran satuan perak

-Kati (Ka) = 20 tahil = + 750 ? 768 gram

-Satu tahil (ta) + 38 gram

-Satu bantal = 20 kati

-Satu pikul = 5 bantal = 100 kati = 75 kg

Selain hitungan ukuran diatas, pada jaman mPu Sindok dikenal hitungan

untuk volume (isi) yang biasanya dipergunakan untuk takaran beras atau

minyak dan rempah-rempah, yaitu satuan Catu. Catu dibuat dari batok

kelapa yang dipotong bagian atasnya (dikrowaki Jw). Ukuran satu catu +

300 ? 450 mililiter.



F.PERTANIAN

Beras merupakan bahan makanan pokok penduduk Medang, diproduksi oleh

sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lembah Sungai

Brantas yang terkenal subur sebagai lahan produksi.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok tersebut, dilakukan berbagai

usaha ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi

yaitu dengan pembukaan sawah secara besar-besaran yang antara lain

melalui pranata penetapan Sima, dimana kegiatannya selalu didahului

dengan pembukaan kebun, padang rumput, tegal ataupun hutan dijadikan

sawah produktif.

Selain melalui ekstensifikasi, dilakukan juga intensifikasi penunjang

pertanian dengan pengaturan sistem pengairan yang memadai untuk

men-suply kebutuhan air bagi pertanian, disamping pemanfaatan yang

lain seperti usaha perikanan dan rekreasi.

Untuk itu dibangun fasilitas infrastruktur, yang dalam skala kecil

dikelola oleh masyarakat sendiri, seperti : talang, weluran,

urung-urung dan tambak. Sedangkan yang beskala besar dikelola oleh

Kerajaan, seperti misal bangunan Dawuhan dan Bendungan, sebagaimana

tertulis pada prasasti Bakalan (934 M) maupun prasasti Sarangan (929

M) yang keduanya mengatur sistem pengairan Kali Kunto.

Dalam prasasti Bakalan tersebut berisi perintah dari Rakryan Mangibil

(isteri Raja Sindok) untuk membuat bangunan 3 buah dawuhan, yakni

Kaliwuhan, Wwtan Wulas dan Wwtan Tamya, yang kemudiannya diketahui

bahwa dulunya dawuhan Tamya tersebut berukuran 175 x 350 m, yang dapat

menampung air sebanyak + 350.000 M3.

Bendungan yang lain adalah di Wwtan Mas (Bajulan Loceret) yang kelak

akan melahirkan sederetan dongeng Panji Semirang/Ande-ande lumut.

Hasil produksi beras Kerajaan Medang melalui pola ekstensifikasi dan

intensifikasi pada akhirnya melimpah ruah, surplus bagi konsumsi

masyarakat Medang sendiri, hingga sangat memungkinkan untuk dijadikan

bahan komoditi perdagangan antar pulau di luar ibukota Medang.

Akibat perdagangan itulah yang kemudian meramaikan dermaga-dermaga

seperti : Bandaralim (Demangan ? Tanjunganom), Dermaga Ujung Ngkaluh

(Jombang) maupun Kembang Putih (Tuban).



Sumber : Putra Wilis

Belum ada Komentar untuk "Menelusuri sejarah Medang Kahuripan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel